Meneladani Rasulullah: Nasihat Emas untuk Para Murabbi


Kata Pengantar

“Nasihat Rasul untuk Para Murabbi”

Dari Penulis

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, sang murabbi agung, teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan.

Buku ini lahir dari keprihatinan dan harapan. Keprihatinan melihat sebagian murabbi kehilangan ruh dalam proses tarbiyah—menjadikan aktivitas pembinaan sekadar rutinitas atau kewajiban struktural. Dan harapan bahwa kita semua, para pembina dan pendidik umat, bisa terus merefleksikan kembali teladan Rasulullah ﷺ dalam mendidik jiwa-jiwa menuju ridha Allah.

Di tengah arus zaman yang cepat dan tantangan dakwah yang semakin kompleks, para murabbi perlu kembali menengok cahaya kenabian. Rasulullah bukan hanya da’i, bukan sekadar pemimpin politik atau militer. Beliau adalah murabbi sejati—yang membentuk manusia dari kegelapan kepada cahaya, dengan hati, sabar, ilmu, dan cinta.

Tujuan Penulisan Buku
Buku ini ditulis sebagai pengingat dan penguat. Ia bukan diktat teori tarbiyah, bukan pula pedoman teknis. Buku ini adalah kumpulan nasihat—dihimpun dari jejak-jejak kehidupan Rasulullah ﷺ—yang relevan bagi siapa pun yang mengambil peran sebagai murabbi: pembina ruhani, pendidik akhlak, dan pemandu jalan hidup.

Tujuan utamanya adalah:
1. Menggugah kembali semangat ruhiyah dalam tarbiyah.
2. Menanamkan kesadaran bahwa menjadi murabbi adalah tanggung jawab besar dan mulia.
3. Menyediakan inspirasi langsung dari keteladanan Rasulullah ﷺ dalam membina manusia.

Harapan terhadap Pembaca, Khususnya Para Murabbi
Kepada para murabbi—baik yang masih belajar maupun yang sudah lama mengabdi—semoga buku ini bisa menjadi teman tafakur, bahan muhasabah, dan sumber semangat.

Bila buku ini mengingatkan kita akan keindahan menjadi murabbi seperti Rasulullah ﷺ, maka itu cukup bagiku. Bila ia membuatmu meneteskan air mata karena menyadari kurangnya cinta dan sabar dalam membina, maka itu nikmat dari Allah. Dan bila buku ini membuatmu ingin terus memperbaiki diri sebagai pembina umat, maka itulah doa yang kupanjatkan sejak awal pena ini dituliskan.

Semoga Allah menjadikan setiap majelis tarbiyah kita sebagai tangga menuju surga, dan menjadikan setiap murabbi sebagai pewaris cahaya kenabian. Aamiin.

Penulis
Al-faqir ilallah
Syarifudin Mustafa Hasan

Pendahuluan

Dalam perjalanan dakwah Islam, sosok murabbi memegang peran yang sangat strategis. Istilah murabbi berasal dari kata rabbā–yurabbī, yang berarti mendidik, memelihara, menumbuhkan, dan mengarahkan. Seorang murabbi tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membina kepribadian, membersamai dalam proses perubahan, dan mendampingi hingga mad’u (binaan) mampu berdiri sebagai pribadi yang kuat secara ruhiyah, ilmiyah, dan harakiyah.

Dalam konteks tarbiyah Islamiyah, murabbi adalah agen utama dalam proses transformasi umat. Mereka adalah pembina yang bekerja dari akar: dari hati ke hati, dari satu lingkaran kecil ke gerakan yang lebih besar. Menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam bukunya “Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam” (Gema Insani, 1995, hlm. 90), tarbiyah adalah “proses membimbing potensi manusia secara bertahap untuk mencapai kesempurnaan sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.” Maka peran murabbi adalah sebagai pembimbing dalam proses ini.

Murabbi bukan sekadar fasilitator materi halaqah atau mentor dalam sistem kaderisasi. Ia adalah figur spiritual dan intelektual yang menjadi teladan. Hasan Al-Banna, dalam risalah Ta‘alim, menekankan bahwa tarbiyah harus melahirkan pribadi Muslim yang utuh (syamil), dan hal ini hanya bisa dicapai jika ada interaksi yang intens dan bermakna antara murabbi dan mad’u (Risalah Ta’lim, 1947).

Di era modern, tantangan tarbiyah semakin kompleks. Informasi melimpah, tetapi pemahaman dangkal. Sosial media merajalela, tetapi komunikasi maknawi menjadi langka. Di sinilah murabbi dituntut untuk lebih dari sekadar menyampaikan; mereka harus menjadi pelita, pembimbing, dan penjaga ruh umat.

Menjadi murabbi adalah sebuah kehormatan, namun juga amanah berat. Ia bukan posisi administratif, tapi peran profetik. Karena itu, buku ini berupaya menghadirkan kembali semangat dan teladan kenabian agar setiap murabbi hari ini dapat berjalan dalam cahaya yang sama: cahaya Rasulullah ﷺ, sang murabbi agung.

Urgensi Mengambil Teladan dari Rasulullah ﷺ

Dalam setiap lini kehidupan, Rasulullah ﷺ adalah sosok yang dijadikan teladan utama bagi umat Islam. Bukan hanya sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai pendidik, pembina umat, dan murabbi yang membentuk generasi terbaik dalam sejarah: para sahabat.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Ayat ini menjadi pondasi bahwa dalam setiap aspek pembinaan manusia, uswah hasanah (keteladanan) Rasulullah adalah rujukan yang paling otoritatif dan terpercaya.

Mengapa penting mengambil teladan dari Rasulullah dalam konteks tarbiyah?

Rasulullah berhasil membina manusia dari kegelapan kepada cahaya, dalam waktu yang relatif singkat, tanpa sistem modern, hanya dengan kekuatan hati, akhlak, dan keteladanan.

Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Fi Fiqh al-Sirah (Dar al-Syuruq, 1992, hlm. 45), “Rasulullah mendidik manusia dengan metode yang tidak hanya menyentuh akal mereka, tetapi juga hati dan ruhani mereka secara bersamaan.”

Metode Rasulullah bersifat universal dan abadi. Dalam setiap tahap pembinaan, Rasul menggabungkan pendekatan spiritual, emosional, dan sosial, yang tetap relevan di setiap zaman.

Yusuf Al-Qaradawi menyebut bahwa tarbiyah Rasulullah “tidak hanya membentuk pengetahuan, tapi mencetak kepribadian dan jiwa peradaban” (Fiqh Tarbiyah, Maktabah Wahbah, 2000, hlm. 29).

Rasulullah mendidik melalui keteladanan pribadi, bukan sekadar instruksi verbal.

Said Hawwa menulis dalam Tarbiyah Ruhiyah (Darul Salam, 1980, hlm. 67): “Rasulullah membina para sahabat dengan kepribadiannya sebelum kata-katanya.”

Keteladanan Rasul adalah manifestasi dari wahyu. Setiap tindakannya adalah bagian dari bimbingan Allah.

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3–4)

Dalam membina jiwa dan membentuk peradaban, umat Islam tak perlu menciptakan metode baru yang terlepas dari akar kenabian. Justru yang dibutuhkan adalah kembali menggali dan meneladani manhaj tarbawi Rasulullah ﷺ, lalu mengadaptasikannya dengan hikmah dalam konteks zaman.

Maka mengambil Rasulullah sebagai teladan bukan hanya keutamaan, tapi sebuah keniscayaan bagi siapa pun yang memikul amanah sebagai murabbi.

Tantangan murabbi masa kini

Menjadi murabbi di era Rasulullah ﷺ tentu memiliki tantangan tersendiri—penolakan, siksaan, keterbatasan fasilitas, dan lingkungan jahiliyah yang keras. Namun, menjadi murabbi di zaman sekarang pun tak kalah berat. Jika di masa lalu tantangan datang secara fisik, hari ini banyak tantangan yang datang secara psikologis, ideologis, dan kultural.

Berikut beberapa tantangan utama yang dihadapi murabbi masa kini:

1. Krisis Keteladanan dan Otoritas Moral
Banyak binaan, khususnya generasi muda, mengalami krisis kepercayaan terhadap figur otoritas, termasuk tokoh agama. Ketika murabbi tak lagi dilihat sebagai sosok yang inspiratif, maka tarbiyah pun kehilangan ruhnya.
“Hari ini kita hidup dalam zaman di mana informasi membanjir, tetapi teladan langka.” — Hamid Fahmy Zarkasyi, Krisis Kepemimpinan Intelektual Muslim (INSISTS, 2014)

2. Distraksi Teknologi dan Overload Informasi
Generasi binaan hari ini hidup dalam dunia yang penuh gangguan—scrolling tiada henti, notifikasi yang membombardir, dan perhatian yang mudah terpecah. Ini membuat halaqah terasa kalah menarik dibanding TikTok atau YouTube.
Menurut laporan Digital 2023 oleh DataReportal, rata-rata waktu layar anak muda Indonesia mencapai lebih dari 8 jam per hari, mayoritas dihabiskan untuk media sosial.

3. Tantangan Ideologi dan Pemikiran
Banyak pemikiran liberal, relativisme moral, hingga skeptisisme agama masuk melalui media, kampus, atau bahkan kurikulum. Murabbi masa kini tak cukup hanya paham dalil, tapi harus mampu merespons tantangan ideologi dengan hikmah dan argumentasi yang kuat.
Dalam Tarikh Falsafah Islamiyah (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), Dr. Mustafa Ashur menyebut bahwa zaman akan selalu menantang generasi ulama dan pendidik untuk membumikan ajaran langit dalam bahasa manusia hari ini.

4. Kelelahan Aktivisme dan Ketimpangan Ruhiyah
Sebagian murabbi terjebak dalam rutinitas tarbiyah yang padat secara teknis, tapi miskin nutrisi ruhani. Akibatnya, tarbiyah menjadi formalitas, bukan transformasi.
Said Hawwa dalam Tarbiyah Ruhiyah menegaskan bahwa tarbiyah sejati adalah “pembentukan jiwa yang membutuhkan kekuatan ruhani lebih dari kecerdasan akal” (1980, hlm. 33).

5. Minimnya Regenerasi dan Kaderisasi Murabbi
Banyak murabbi menua bersama halaqahnya, tapi belum melahirkan murabbi baru. Ini berisiko menimbulkan stagnasi, bahkan kemandekan dalam gerakan dakwah. Membentuk murabbi dari binaan seharusnya menjadi orientasi jangka panjang.

6. Gap Kultural dan Gaya Komunikasi
Murabbi yang tidak mengikuti perkembangan budaya dan bahasa anak muda kerap tertinggal dalam pendekatan. Gaya ceramah formal dan satu arah bisa terasa membosankan bagi Gen Z yang terbiasa dengan konten pendek, interaktif, dan visual.

Kesimpulan Sementara
Tantangan-tantangan ini bukan alasan untuk mundur, tetapi panggilan untuk kembali meneladani Rasulullah ﷺ yang mampu menjadi relevan di setiap masa. Dengan cinta, hikmah, dan kesabaran, Rasul membina masyarakat jahiliyah menjadi generasi peradaban. Maka murabbi hari ini pun harus mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan ruh dan nilai tarbiyah yang diwariskan oleh beliau.

Referensi:
Muhammad Al-Ghazali. Fiqh al-Sirah. Kairo: Dar al-Syuruq, 1992.
Yusuf Al-Qaradawi. Fiqh Tarbiyah. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Said Hawwa. Tarbiyah Ruhiyah. Beirut: Darul Salam, 1980.
Abdurrahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani, 1995.
Hasan Al-Banna. Risalah Ta’lim. Mesir: Ikhwanul Muslimin, 1947.
Said Hawwa. Tarbiyah Islamiyah wa Madkhaluhaa al-Ilaahi. Beirut: Darul Arqam, 1983.
Hamid Fahmy Zarkasyi. Krisis Kepemimpinan Intelektual Muslim. INSISTS, 2014.
Digital 2023: Indonesia, DataReportal, Hootsuite & We Are Social.
Mustafa Ashur. Tarikh Falsafah Islamiyah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002.