Perubahan dan Estafeta Dakwah

Mendengar kata perubahan bisa jadi kita enggan membicarakannya. Karena kita lebih suka satus quo ketimbang perubahan, terlebih kita anggap situasi sudah aman dan nyaman.

Namun betatapun juga kita tidak suka dengan perubahan, ia pasti menghampiri, karena ia sudah menjadi ketentuan dan kepastian dalam kehidupan ini,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍۢ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍۢ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍۢ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًۭا ثُمَّ لِتَبْلُغُوٓا۟ أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا۟ شُيُوخًۭا ۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوٓا۟ أَجَلًۭا مُّسَمًّۭى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti.” (QS. Ghafir: 67)

Secara etimologi, perubahan berasal dari kata dasar “ubah”, yang merupakan kata kerja yang diartikan sebagai menjadi lain (berbeda) dari semula dan bertukar (beralih, berganti) menjadi sesuatu yang lain.

Sedangkan perubahan merupakan kata benda yang diartikan sebagai hal atau keadaan berubah yang disebut juga pergantian.

Perubahan itu universal dan pasti terjadi dalam kehidupan manusia yang mencakup dimensi personal dan sistem sosial.

Perubahan bisa terjadi dalam waktu cepat atau lambat, tergantung pada situasi dan kondisi yang mengharuskan atau memengaruhi sesuatu atau sesorang untuk berubah.

Selama bumi masih berputar dan hayat masih dikandung badan, kita akan terus berhadapan dengan perubahan.

Karena itu, tidak ada pilihan lain selain kita menerimanya bahkan bersahabat dengan perubahan itu.

Perubahan bisa terjadi kapan saja, bahkan tanpa kita duga. Pertanyaannya, akankah kita melihat perubahan sebagai ancaman atau peluang?

Terhadap perubahan maka yang bisa kita lakukan hanyalah bersahabat dengan perubahan itu sendiri dan menjadikannya sebagai peluang untuk mengevaluasi guna melanjutkan yang baik dan membuang yang buruk.

Perubahan hakikatnya untuk kemashlahatan. Dalam usul fiqh, dikenal kaidah, ‘taghayyur al-fatwa bi taghayyur az-zaman wa al-makan’ atau fatwa bisa berubah sesuai perubahan waktu dan tempat.

Hal ini karena Islam mendorong perbaikan bukan stagnasi atau status quo. Perubahan menjadi bagian dari tanggung jawab manusia untuk menjadi lebih baik. Allah berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِهِمۡ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Ada dua macam perubahan, kecil dan besar.

Perubahan kecil merupakan perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial secara individu maupun kelompok kecil yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti pada masyarakat.

Seperti seseorang yang semakin bertambah usia tampak semakin tua, lemah dan memutih rambutnya dan akhirnya mengalami kematian. Firman Allah Ta’ala:

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Rum: 54)

Sedangkan perubahan besar adalah sesuatu yang akan membawa pengaruh atau dampak yang lebih besar pada masyarakat.

Perubahan macam ini harusnya menjadi perhatian utama bagi dakwah dan para kadernya karena menyangkut tidak hanya kelanjutan eksistensi (taurist) namun juga kualitas generasi baru yang akan muncul guna melanjutkan estafeta dakwah dan cita-cita yang belum tercapai.

Yang diharap adalah munculnya generasi yang baik atau lebih baik dari yang sebelumnya. Bukan sebaliknya sebagaimana Allah SWT memberi peringatan dalam firman-Nya:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59)

Dalam proses perubahan ini, hal-hal yang aksiomatis seperti akidah, ibadah dan keimanan serta fikroh harus selamat dari penyimpangan saat proses pewarisannya. Sebab itu semua adalah identitas dan jati diri.

Ia harus tersampaikan secara utuh dan terjaga keasliannya, tetap orsinil dan asli.

Hal inilah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul sehingga umat ini benar-benar umat yang satu, tidak terputus antar generasinya. Pewarisan dakwah yang benar dan soleh. Firman-Nya:

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبْرَٰهِۦمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ أَمْ كُنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ ٱلْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى قَالُوا۟ نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 132-133)

Dalam konteks perubahan ini maka dakwah dan para kadernya haruslah mampu melakukan proses taurist yang tepat dan benar.

Ada tiga tonggak proses pewarisan ini; ilmu, tarbiyah dan jihad.

Dengan ilmu dipahami apa yang mesti dilakukan. Dengan tarbiyah bisa dipahami strategi apa yang hendak pakai dan dengan jihad dipahami apa yang menjadi rintangan dan hambatan kerja dakwah ke depannya.

Imam Syahid Hasan Al-Banna rahinahullahu, telah mengingatkan para kader dakwahnya untuk mengambil kepedulian yang besar dan perhatian yang tinggi pada momentum terjadinya perubahan:

“Sungguh, masa yang paling rawan dalam kehidupan umat dan paling layak mendapat perhatian serius adalah masa peralihan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Sebab saat itu sistem masa baru ditetapkan, langkah-langkah mulai digariskan, dan kaidah-kaidah yang melandasi pembentukan serta komitmen umat diputuskan” (Hasan Al Banna dalam Risalah Nahwannur).

Namun dalam perubahan yang terjadi, ada satu hal yang tidak boleh ikut berubah, yaitu komitmen dan konsistensi dalam berjuang menegakkan agama Allah,

فَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu” (QS, Hud: 112)

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا ١٠٥

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (QS. An Nisa: 105). Wallahu a’lam[]Acha